JANGAN RAGU ATAS MUSAFIRNYA PELAUT

 


JANGAN RAGU ATAS MUSAFIRNYA PELAUT

PERTANYAAN:

Assalamualikum akhi .mohon maaf akhi izin bertanya izin share apakah pelaut itu sedang safar, ana masih belum sreg di hati, apakah berati tidak ada solat 4 rokaat tapi jadi 2 rokaat bila tidak berjamaah di mushola kapal. terima kasih.

(Pak Rully - 0853-1712-XXXX)

JAWABAN:

Wassalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu.

Bismillah, walhamdulillah,wa sholaatu wa salaamu 'alaa rosuulillaah, laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah, Amma Ba'du.

Yth. Pak Rully, yang semoga senantiasa mendapatkan rahmat dari Allah Ta'alaa.

Ya benar sekali Pak, bahwa para pelaut yang sedang bekerja diatas kapal, itu dikategorikan dalam syariat sebagai seseorang yang sedang safar (musafir) sebab diatas muka bumi ini, baik didaratan, diudara, di luar angkasa, di dalam lautan, maupun di permukaan lautan, kondisi manusia hanya di bagi menjadi 3 jenis saja, dimana kalau dia tidak:

1.       1. Musafir, adalah Manusia yang sedang dalam perjalanan (berpindah), dari satu daerah ke daerah yang lain, tidak menetap, selalu dalam perjalanan, bisa jadi tidak menginjak tanah/daratan jika safar menggunakan kendaraan, dan hanya singgah di suatu tempat untuk keperluan tertentu.

      2. Berarti Mukimin, adalah Manusia yang berada di suatu daerah, yang bukan daerah tempat tinggalnya, bisa jadi stay/tidak dalam suatu perjalanan, tidak diatas kendaraan, selalu meginjak tanah/daratan, namun tidak bermaksud tinggal /menetap di daerah tersebut dan dapat dipastikan akan kembali ke daerah asalnya.

      3. Atau Mustauthin, adalah Manusia yang tinggal di suatu daerah, menetap, tidak berpindah-pindah, tidak dalam perjalanan, hingga disebut sebagai penduduk asli setempat dan senantiasa berada di atas tanah/daratan/homeland, baik dia pendatang maupun bukan.

Untuk lebih jelasnya, silahkan bisa tonton video berikut ini:


Selanjutnya kami akan berikan sebuah contoh simulasi misalnya, ada seorang ABK yang bekerja diatas KM. Kelimutu, kapal penumpang milik PELNI, nah jika si ABK tersebut tidak dikategorikan sebagai musafir yang sedang safar, maka akan sangat rancu kondisinya, sebab bagaimana bisa ada ABK yang bukan musafir, sedangkan para penumpang kapal-nya sudah jelas-jelas musafir semua?

Apakah bisa di satu kapal yang sama, status manusia di dalamnya bisa berbeda-beda?!, si penumpang-nya musafir sedang si ABK-nya bukan musafir ?!  Jawabnya tentu tidak bisa bukan?!

Apalagi jika dihitung perbandingan jarak tempuh perjalanannya, antara ABK Kapal penumpang itu, dengan penumpangnya, tentu sudah bisa dipastikan, jarak yang ditempuh ABK lebih jauh dari jarak yang ditempuh para  penumpangnya bukan?!,

Darisini bisa dipastikan, jika dalam satu kapal penumpang itu, penumpangnya berstatus musafir, maka ABK nya pun harusnya lebih layak lagi ber-status sebagai musafir. Allaahu a'lam.

  1. Telah menempuh jarak minimal safar secara syari.
  2. Bermaksud menuju tempat tertentu sejak memulai safar (telah berniat safar).
  3. Telah meninggalkan tempat mukim (rumah terakhir di kota atau batas kota).
  4. Bukan safar maksiat, yaitu sejak awal safar berniat maksiat.
Dengan demikian, ketika Bapak telah berada di Bandara/Pelabuhan, maka ini artinya Bapak sudah mencapai batas kota (rumah terakhir, sebab diatas laut sudah tidak ada rumah lagi), sehingga jika bapak lanjutkan perjalanan naik kapal meninggalkan pelabuhan, maka ini bermakna syarat safar Bapak telah terpenuhi dan Bapak pun mau tidak mau harus menyandang status Musafir dan pastinya dengan kata lain Bapak bukanlah seorang mukimin ataupun mustauthin.

Dan supaya lebih mantap lagi, jangan lupa disetiap perjalanan, sempatkanlah sejenak untuk berdoa dan berniat untuk safar, utamanya disaat Bapak melangkahkan kaki keluar dari rumah, menuju ke kapal.

Imam An-Nawawi rahimahullah pernah berkata, 


“Jika seseorang keluar, (hanya) untuk mengejar budaknya yang melarikan diri, atau (mencari) orang yang berhutang pada-nya, atau (hajat-hajat lain) selain itu, dan dia berniat kapanpun dia sudah bertemu dengan yang ia cari maka dia akan pulang dan dia tidak mengetahui di mana lokasinya, maka dengan niatan itu, dia tidak boleh mengambil rukhshoh (keringanan safar) meskipun safarnya lama dan mencapai banyak marhalah, sebab di awal safar dia tidak berniat malakukan safar dengan jarak minimal safar syar’i.”

(Al-Majmu’, juz 4 hlm 331)


Al Imam An-Nawawi rahimahullah, juga pernah berkata,


“Ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah terdahulu pernah mengatakan, disyaratkan dalam mengqashar itu hendaklah seseorang berniat untuk menempuh jarak qashar di awal safarnya”

(Al-Majmu’, juz 4 hlm 331)


Sampai sini, semoga bisa difahami dalam masalah niat safar ini, semua ulama sepakat, bahwa saat mau safar itu, harus ada niat safar, sebagaimana yang telah dirincikan dalam hadist niat berikut ini, dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”

 (HR. Bukhari No. 1)


Semoga dengan adanya niat dan syarat-syarat safar yang telah bapak ketahui dan terpenuhi, maka Bapak bisa menjadi semakin yakin dan sreg dengan status Bapak sebagai musafir yang sedang safar,menempuh perjalanan ber-mil-mil, diatas lautan, membawa barang yang bermanfaat untuk manusia, dari pelabuhan ke pelabuhan. 


Dan apabila Bapak masih ingin mendapatkan penjelasan lanjutan tentang safar ini, silahkan bapak bisa membeli sebuah buku yang berjudul "PANDUAN SAFAR" karya Ust. Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, ST.Msc, yang link pembeliannya bisa Bapak dapatkan di web ini pada menu "Toko Pelaut" di dalam tombol garis tiga di sudut kanan atas, atau klik: https://www.pelautpeduli.my.id/p/produk.html


Berikutnya terkait pertanyaa jika statusnya sudah musafir, apakah berati tidak ada lagi solat 4 rokaat, namun semua sholatnya, jadi 2 rokaat, bila tidak berjamaah di mushola kapal ?,

Maka kami jawab, bahwa hal ini merupakan pembahasan yang berbeda, jadi jangan lagi kita memandang kalau ada diri kita atau teman kita saat masih diatas kapal, kemudian melakukan shalat 4 rakaat, maka status musafirnya berubah menjadi mukimin, jangan...!


Yang benar adalah, bila ada teman sekapal kita shalat diatas kapal baik di kamar cabinnya, maupun di masjid kapal sebanyak 4 rakaat sempurna, maka statusnya adalah tetap musafir, hanya saja dia adalah musafir yang memilih shalat 4 rakaat, dengan sebab menurutnya itmam (4 rakaat sempurna) itu lebih afdhal daripada qashar (2 rakaat ringkas) atau mungkin bisa jadi dia berpendapat bahwa qashar shalat saat safar itu ada batasannya, sehingga baginya tak boleh qashar terus terusan sampai pulang kembali kerumahnya. Allaahu a'lam.

Nah, dengan memahami begitu maka kita akan faham bahwa pilihan mau itmam atau qashar itu merupakan pilihan pribadi masing-masing, sesuai tingkat pemahaman masing-masing, mana yang lebih afdhal menurut pendapat masing-masing.


Bagi rekan pelaut yang memahami bahwa Qashar itu lebih afdhal, maka ketahuilah, bahwa Ulama berbeda pendapat tentang hukum qashar shalat, disaat safar, apakah sampai ke tingkat WAJIB atau hanya sekedar lebih Afdhal saja.


Dikutip dari buku Panduan safar, karya Ust. Dr. M Abduh tuasikal, hal 82-83, sebagian ulama, berdasarkan hadits Aisyah, berpendapat bahwa qashar itu wajib dilakukan selama safar.


Namun, pendapat MAYORITAS ULAMA, seperti Ibnu Taimiyyah, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan pendapat masyhur dari Imam Ahmad, menyatakan bahwa QASHAR ADALAH SUNNAH, DAN BUKAN WAJIB.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz juga berpandangan demikian. Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa qashar saat safar lebih utama (afdal saja tak sampai wajib), sedangkan shalat secara lengkap/itmam saat safar (tanpa qashar) adalah makruh.

Ada juga pendapat ketiga yang menyatakan bahwa musafir boleh memilih antara mengerjakan shalat secara lengkap atau qashar. Ini adalah pendapat yang juga dinyatakan oleh Imam Syafi’i dan Abu Tsaur, menurut Ibnul Mundzir dan Ibnul Mulaqqin.

Dan pendapat yang benar dan yang paling kuat adalah, qashar shalat merupakan rukhshah (keringanan saja), dan bukan keharusan yang wajib dilakukan.


Nah, sampai sini, dengan memahami bahwa hukum Qashar shalat saat safar itu tidak sampai di level wajib, maka bagi rekan pelaut yang memahami lebih afdhal qashar saat safar tidak perlu memaksakan rekan satu kapalnya untuk Qashar semuanya, dan tidak perlu menyalahkan yang itmam, sebab derajat Qashar sendiri tidak sampai diwajibkan. 


Adapun, bagi rekan pelaut yang memandang itmam diatas kapal lebih afdhal daripada qashar, maka ketahuilah bahwa tindakan meng-itmam shalat wajib anda itu, tak bisa serta merta merubah status anda sebagai musafir, artinya walau meng-itmam rakaat shalat anda, maka  ANDA TETAP MUSAFIR.


Jadi dalam hal ini sama saja seperti saat Ramadhan, ada pelaut yang tidak puasa ramadhan, dan ada yang tetap puasa ramadhan, dalam kondisi mereka sama-sama sebagai musafir (safar), yang puasa tidak boleh menyalahkan yang tak puasa, demikian pula sebaliknya, sehingga yang memilih qashar lebih afdhal, tak boleh menyalahkan yang itmam dan yang memilih itmam pun, tak boleh menyalahkan yang qashar, sebab Allah Ta'alaa berfirman:


وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلْكَٰفِرِينَ كَانُوا۟ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا 

"Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qaşar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu."

(Qs. An Nisa: 101)

Dan tetaplah status keduanya sebagai sesama musafir dia atas kapal, baik yang memilih itmam maupun yang memilih qashar, kedua-duanya adalah sama-sama berstatus sebagai musafir.


Nah, lalu kapan status musafir berubah? tentu setelah turun dari kapal, saat menginjak daratan, barulah status musafir itu bisa dirubah, apakah akan menjadi mukimin di daerah tersebut, ataukah akan menjadi mustauthin, ataukah mau tetap musafir, lanjut perjalanan ke rumah masing-masing, yang tentunya hal itu diawali dengan niatan kembali dan juga ditambahi dengan syarat-syarat yang mengikuti.


Terakhir, bagaimana jika di masjid kapal dilaksanakan shalat berjamaah, dan yang menjadi imam adalah musafir yang memilih itmam?! maka jika kita menjadi makmum, meskipun kita meyakini qashar lebih afdhal, maka tetap kita harus mengikuti imam untuk ikut meng-itmam (menyempurnakan) rakaat shalat kita, Dan hal tersebut kita lakukan, bukan karena kita memahami itmam saat safar itu lebih afdhal, namun kita ikuti imam karena adanya perintah Nabi untuk wajib mengikuti imam dikala shalat berjamaah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, berikut ini:


عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ 


“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya imam itu ditunjuk hanya untuk diikuti”. (Muttafaqun ‘alaihi)


Nah, berbeda kondisinya, jika yang menjadi imam adalah yang memilih qashar lebih afdhal, maka jika yang memilih itmam, menjadi makmum dan tetap berpendapat bahwa itmam itu lebih afdhal, maka setelah imam qashar salam, dia boleh melanjutkan lagi shalatnya untuk meng-itmam rakaat shalat-nya, (nambah sendiri) 2 rakaat. 


Demikian semoga jawaban kami ini dapat bermanfaat dan semakin membuat jelas. Wallahuta’alaa wa a’lam. 


Wassalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.


Yogyakarta, 16 April 2025/ 17 Syawwal 1446H

Dijawab oleh Ust. Agusta Sandi, hafidzahullah

Div. Dakwah: 

Div. Sosial: 



Lihat yang Lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isikan komentar anda dikolom ini:

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

> | Donasi Sekarang
tombol menuju form donasi

Cari sesuatu ...

Jadwal Waktu Sholat


jadwal-sholat

Kalkulator Zakat

> | Zakat Maal
hitung zakat maal Anda

> | Zakat Fitrah
hitung zakat fitrah Anda

> | Zakat Pertanian
hitung zakat pertanian Anda