BAB BUBAR (FASAKH) MUDHARABAH
PERTANYAAN:
Ada lagi sy mau tanyakan pak ustads hukumnya taman modal usaha jualan prodak herbal yg mana setiap bulannya terima bagi hasil sesuai hasil penjualan dan dan apa bila kita SDH tidak mau join modal awal ta di balikan apa hal ini sama dengan pertanya awal sy.
(Hamba Allah-0813-5458-XXXX)
JAWABAN:
Bismillah, walhamdulillaah, wa sholaatu wa salaamu 'alaa rosuulillaah. Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah. Amma Ba'du.
Terima kasih atas kesabaran Bapak dalam menunggu jawaban dari kami, mohon maaf atas kekurangan kami yang terkesan lambat dalam memberikan jawaban, dikarenakan aktvitas awal-awal masuk di sekolah kami setelah liburan dan juga Qoddarullah, untuk menjawab pertanyaan Bapak, kami harus merefresh kembali ingatan kami dengan membaca kembali sebuah buku karya Ust. Ammi Nur Baits Hafidzahullah yang berjudul "PENGANTAR PERMODALAN DALAM ISLAM".
Kami sangat merekomendasikan kepada Bapak, atau rekan pelaut sekalian yang mungkin akan atau telah berkecimpung dalam hal memberikan modal usaha untuk membeli dan meluangkan waktu sejenak, guna membaca buku diatas, agar kita sama-sama bisa belajar dan berawal dari pijakan yang sama, agar apa yang kami sampaikan dalam jawaban ini dapat dipahami sepenuhnya dan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semuanya.
Langsung saja kita masuk pada pertanyaan Bapak, pertama terkait hukum tanam modal usaha jualan produk herbal, yang mana hukumnya secara syariat adalah diperbolehkan, bahkan kami secara pribadi dan kelembagaan, sangat-sangat menganjurkan kepada rekan-rekan pelaut sekalian, yang memiliki simpanan banyak di rekening tabungannya, agar bersegera untuk memutar harta simpanannya untuk dimasukkan sebagai modal-modal usaha, pada sektor real usaha yang halal dan thoyibah baik di sektor mikro maupun makro yang dikelola oleh saudara muslim kita yang tentunya rekan-rekan percaya bahwa dia mampu untuk mengelola modal/ivestasi yang rekan-rekan tanamkan.
Dalam sebuah hadist dari Jabir bin Abdillah radhiallaahu'anhu. Nabi Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Siapa yang memiliki tanah, hendaknya dia kelola (dengan ditanami) dan jika dia tidak mampu untuk mengelolanya, maka berikanlah kesempatan bagi saudaranya (untuk menanaminya)."
(HR. Muslim: 3998)
(HR. Muslim: 3998)
Nah, mengambil faedah dari hadist diatas, maka status tanah dapat disamakan/diqiyaskan dengan harta simpanan, sehingga siapa yang memiliki harta simpanan, hendaklah dia kelolakan untuk usahanya, dan jika dia tidak mampu mengelolanya sendirian, maka ber-investasi-lah atau tanamlah modal, agar saudara muslim lainnya bisa membantu mengelolakannya dalam suatu bidang usaha yang telah menjadi keahliannya.
Hal ini sangat kami rekomendasikan, sebab harta rekan-rekan sekalian yang mendekam di Bank, jika tidak dimanfaatkan untuk investasi/modal usaha, maka justru akan digunakan oleh pihak asing/aseng untuk modal usaha mereka pula, sehingga jikalau usaha mereka adalah usaha yang tidak halal dan thoyyib, maka menyimpan uang di bank-bank konvensional, selain justru mendapatkan riba yang kelak harus kita pertanggung jawabkan, maka menyimpan uang di bank-bank tersebut, justru bisa menjadi alat penolong mereka dalam membuat berbagai macam jenis usaha yang memberikan andil pada kerusakan-kerusakan baik di daratan maupun dilautan.
Terlebih, profesi pelaut adalah profesi sementara, yang mana ketika usia sudah semakin tua dan sudah tidak mampu lagi berlayar, maka penghasilan di sektor real usaha, baik mikro mau makro dapat menjadi income lanjutan, agar rekan pelaut sekalian bisa tetap eksis di daratan.
Kedua, terkait bagi hasilnya, dimana sesuai yang bapak sampaikan bahwa setiap bulannya terima bagi hasil sesuai hasil penjualan (keuntungannya) maka ini juga sudah benar, dimana prosentase bagi hasil yang benar, bukanlah dari besaran jumlah modal yang diberikan, baik secara flat maupun tidak, namun yang benar adalah bahwa prosentase bagi hasil, yang dibagi adalah dari keuntungan yang didapat dan keuntungan tidaklah bisa diketahui setelah adanya penjualan, maka membagi sesuai hasil keuntungan dari penjualan adalah benar sesuai syariat, dan mekanisme tanam modal dalam usaha semacam ini, di dalam ilmu syariat termasuk ke dalam akad Mudharabah, pelaku usaha disebut Mudharib/Amil dan Bapak sebagai pemodal disebut Sohibul Maal.
Terakhir, terkait bab sudah tak mau join lagi atau bab bubar mudharabah atau fasakh mudharabah, maka ada beberapa hal yang harus dipertanyakan, pertama alasan Bapak tidak mau join lagi itu karena apa? apakah karena si pelaku usaha herbal (mudharrib) nya tidak amanah, atau apakah karena ada salah satu atau beberapa point-point kesepakatannya ada yang tidak dipenuhi/dilanggar, ataukah karena Usahanya gulung tikar/bangkrut/pailit/merugi, atau apakah Bapak mundur sepihak karena Bapak membutuhkan uang modal bapak untuk keperluan Bapak yang lainnya? maka hal ini akan berbeda-beda jawaban-nya,sesuai alasan yang sebenarnya, ketika Bapak berniat untuk tidak mau join lagi, atau yang dikenal dengan istilah fasakh/batal/bubar mudharabah.
Hal ini mengingat informasi dari Bapak, bahwa bagi hasil mudharabah sudah pernah berjalan dan Bapak telah menerima bagi hasil perbulan sesuai dengan hasil penjualan, maka dalam hal pembatalan/bubar mudharabah (fasakh mudharabah) nya juga harus dibedakan dengan hutang-piutang, artinya jikalau Bapak memaksa meminta modal dikembalikan secara utuh tanpa melihat alasan bubarnya dan dilarikan kemana harta bapak dalam usaha tersebut, maka hal ini tidak diperbolehkan dan jika tetap dilakukan, maka pada hakikatnya modal yang telah bapak tanam-kan menjadi hutang dan bagi hasil yang bapak telah terima, menjadi riba-nya. Allaahu a'lam.
1. Akibat Mudharib Tidak Amanah (Berkhianat)
Jika alasan Bapak tidak mau join lagi karena mudharib tidak amanah, dimana modal uang yang Bapak berikan tidak digunakannya untuk usaha yang dia sampaikan, malah justru disalahgunakan untuk keperluan lainnya, maka sebagai sohibul maal, Bapak boleh membatalkan mudharabah secara sepihak dan akad mudharabah menjadi batal secara langsung, sehingga jika ada resiko kerugian, maka pihak yang berkhianatlah yang harus menanggungnya, dan jika modal tidak dikembalikan utuh, maka sisanya menjadi terhutang, yang akan terus menerus menjadi kewajiban bagi mudharib (pelaku usaha herbal) yang bapak modali untuk mengembalikannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
2. Akibat Mudharib Melanggar Salah Satu Kesepakatan
Jika mudharabah telah berjalan, dimana pada awalnya mudharib si pelaku usaha herbal telah menunjukkan sikap dan usahanya untuk amanah, bagi hasil juga telah Bapak rasakan setiap bulan, namun ditengah jalan ada salah satu atau beberapa akad-akad pesyaratan yang dilanggar atau tidak dipenuhi oleh mudharib, maka mudharabah tidak secara langsung menjadi batal, namun dilakukan penyesuaian seperti:
- Mengadakan pembaharuan kesepakatan, dan melengkapi detil kesepakatan agar semuanya menjadi lebih jelas.
- Memperbaiki point-point kesepakatan yang salah, apabila ada kesepakatan yang salah secara syariat, seperti salah prosentase bagi hasil, salah dasar pengambilan bagi hasil, dlsb.
- Melengkapi kesepakatan hingga sampai pada pasal-pasal bagaimana jika salah satu atau kedua belah pihak berniat mundur/bubar/fasakh mudharabah.
Dengan mengadakan penyesuaian diatas, maka diharapkan disaat nantinya benar-benar terjadi fasakh mudharabah, masing-masing pihak tidak ada yang merasa dirugikan dan persaudaraan tetap berjalan sama seperti ketika sebelum adanya fasakh mudharabah tersebut.
Dan dalam hal usaha sudah berjalan, ulama mahdzab malikiyah melarang adanya pembatalan sepihak, sedangkan Jumhur ulama membolehkan, lain halnya jika usaha belum berjalan, belum ada pula bagi hasil yang diterima pemodal, maka ulama sepakat pembatalan ini boleh dilakukan secara sepihak dan dana modal langsung dikembalikan seutuhnya tanpa ada penambahan dan atau pengurangan.
3. Akibat Usaha Gulung Tikar (Bangkrut/pailit/merugi).
Dalam hal usaha herbal yang bapak modalin ternyata gulung tikar, bangkrut, pailit atau merugi, maka harus dilihat terlebih dahulu apa penyebab bangkrutnya, jika meruginya terjadi akibat kondisi normal, contoh karena adanya covid misalnya, dan bukan karena keteledoran pelaku usaha, maka si pelaku usaha (mudharib) tidak berkewajiban mengganti rugi, dan seluruh kerugian usaha menjadi taggungan bersama-sama, modal yang bapak telah berikan tidak boleh diminta paksa dan harus balik seutuhnya, namun harus tetap dilakukan audit terhadap usahanya dan kemana saja modal bapak dilarikannya.
Jika modal bapak dilarikan ke aset usaha, misal utuk pembelian etalase, motor, dlsb maka saat fasakh/bubar mudharabah, aset tersebut boleh bapak minta dan menjadi millik Bapak, namun jika modal bapak dilarikan untuk pengadaan stok barang produk herbalnya, maka produk herbal bisa dijual/dicairkan dan pada hasil penjualannya jika ada keuntungan harus dibagi sesuai akad bagi hasil dan jika tidak ada keuntungan maka hasil pencairan sepenuhnya milik pemodal.
Namun apabila pelarian modal Bapak tidak jelas, artinya semua modal oleh pelaku usaha disatukan terus digunakan untuk usaha semuanya, sehingga tidak muncul kejelasan dilarikan kemana modal bapak, apakah dilarikan ke aset atau stok herbal yang mana, maka jika terjadi fasakh/bubar mudharabah, si pelaku usaha boleh menjual semua aset dan stok untuk kemudian hasil penjualannya digunakan untuk mengembalikan modalnya, jika ada lebihannya, maka lebihan itu merupakan keuntungan yang harus dibagi lagi sesuai prosentase bagi hasil yang telah disepakati antara kedua belah pihak, namun jika tidak ada lebihan/keuntungan dalam pencairan semua aset dan stok herbalnya, maka seluruh hasil pencairan menjadi milik Bapak sebagai pemodal.
Berkata ulama mahdzab syafi'iyyah:
"Setelah terjadi fasakh, amil (mudharib) berhak menjual harta mudharabah (stok dan aset) selama menghasilkan keuntungan, seperti adanya kenaikan harga pasar atau adanya permintaan, Dan mudharrib tidak boleh menggunakan harta tersebut untuk kulakan lagi guna menaikkan akad mudharabah, sementara dia tau bahwa dia tidak punya hak lagi disana."
Berkata ulama mahdzab hambali:
"Jika terjadi fasakh mudharabah, kemudian aset dan persediaan sudah dicairkan (dijual-jual), namun setelah dikumpulkan ternyata tidak ditemukan adanya keuntungan, maka pemodal mengambil semuanya dan jika ada keuntungan, maka keuntungan itu dibagi sesuai kesepakatan."
(Dikutip dari Buku Permodalan Dalam Islam, Ust. Ammi Nur Baits, Halaman: 69)
4. Akibat Salah Satu Mundur Sepihak Tanpa ada Masalah.
Dalam hal ini semisal Bapak sebagai pemodal ingin mengambil kembali modalnya dan mundur secara sepihak dari akad mudharabah dengan pelaku usaha herbal, dikala tidak ada masalah pada pelaku usaha (amil/Mudharib) maka Bapak wajib memperhatikan hal sebagai berikut:
- Apakah sudah pernah ada bagi hasil yang diterima? jika sudah ada, maka ini berarti mudharib sudah bekerja, maka Bapak tidak boleh serta merta langsung mundur dan minta modal dikembalikan spenuhnya, namun yang boleh Bapak minta adalah pencarian aset dan stok yang awalnya dibeli dengan modal dari Bapak, kemudian menerima hasil pencairannya sebagai ganti modal yang telah Bapak berikan, sedapatnya tanpa memaksa modal harus kembali seutuhnya.
- Apakah pernah ada kesepakatan batasan waktu mudharabah, semisal kesepakatan bahwa pemodal tidak boleh menarik modalnya hingga selama sekian tahun/bulan, maka jika ada kesepakatan semacam itu, Bapak sebagai pemodal tidak boleh mundur secara sepihak, terkecuali jika muncul pengkhianatan atau keteledoran atau kesalahan fatal yang Bapak temukan pada pelaku usaha, semisal mudharib berkhianat, maka boleh saat itu Bapak mundur sepihak dan meminta pengembalian Modal.
- Jika Bapak mundur sepihak bukan karena kesalahan pelaku usaha, dan bagi hasil telah ditunaikan sesuai kesepakatan dan juga telah ada kesepakatan waktu namun Bapak tidak mengindahkan, maka pelaku usaha tidak wajib mengganti modal yang telah Bapak Tunaikan, dan Bapak bisa minta pencarian modal ketika waktu mudharabah telah selesai, dan stok beserta aset-asetnya telah dicairkan oleh pelaku usaha, Nah. apabila setelah dicairkan ternyata tidak mencukupi untuk balik modal, maka hasil penjualan/pencairan stok dan aset seluruhnya menjadi milik Bapak, namun bila ada lebih dari modal yang dahulu bapak berikan, maka lebihan itu menjadi keuntungan dan wajib dibagi hasil lagi sesuai kesepakatan awal.
Demikian jawaban dari kami, semoga bisa memahamkan dan menjadi penjelas atas pertanyaan Bapak. Semoga bermanfaat. Wallaahu waliyut taufik wal hidayah, wallaahuta'alaa wa a'lam.
Dijawab Oleh:
Ust. Agusta Sandi Hafidzahullah
Divisi Dakwah:
www,pelautmuslimmengaji.com
Divisi Sosial:
www.pelautpeduli.my.id




Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Isikan komentar anda dikolom ini: